ku tetap menanti

Kamis, 14 Maret 2013

Enrekangku Kabobongku


Enrekangku  Kabobongku
Enrekang kabobongku
Oleh. Muhammad yusuf

Enrekangku kabobongku
Kabobongku surgaku
Surgaku kehormatanku

Enrekangku bambapuangku
Bambapuangku pondasi harapanku
Haranku untuk Enrekang

Meskipun daerah ini adalah daerah pegunungan, daerah yang tidak memiliki pantai seperti daerah-daerah lain tapi Enrekang juga tak mau kalah akan hasil bumi dan budaya. Jika dalam Novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro menceritakan tentang keindahan Gunung Ranu Kombolo, Para pendahulu kita juga memiliki banyak cerita rakyat, seperti asal mula kejadian Gunung Nona, Runtuhnya Gunung Bambapuang, kuburan batu di Tontonan, Telapak tangan berdarah Buntu batu, yang tak kalah pentingnya kita memiliki gunung Latimojong yaitu gunung tertinggi di Sulawesi-Selatan tidak hanya memiliki ketinggian tapi juga memiliki keindahan tersendiri dan tidak sampai disitu saja Enrekang masih memiliki beragam akan pesta-pesta adat istiadat baik itu syukuran, pernikan, atau kematian, dan bergai macam kesenian-kesenian orang terdahulu untuk merayakan pestanya, seperti bas, ronggeng, dll. Masih ingatkah kita dengan lagu Suruganna bambapuang, Tangkendaummi tolamba, tung-tung kaloko dll?. Kesemuanya ini menggambarkan bahwa para leluhur massenrenpulu memiliki satu visi dan misi dalam membangun sebuah tradisi yang mana tradisi tersebut dapat mempersatukan dan mempererat tali persaudaraan yang kuat dari ketujuh kerajaan yang ada di massenrenpulu, hal tersebut masih di rasakan masyarakat hingga tahun sekitar 1996-1997an. Ketika diadakan pesta rakyat, orang-orang dari pelosok desa yang jarakya bisa mencapai puluhan kilo meter, mereka rela meninggalkan pekerjaan, berjalan kaki atau menunggagi kudanya untuk beberapa hari hanya demi mengikuti pesta rakyat, karena mereka meyakini bahwa hanya sepeti inilah kami bisa menjalin tali silaturrahmi dengan desa-desa lain. Maka yang menjadi tugas para putra massenrenpulu adalah menjaga dan melestrarikan budaya-budaya peninggalan para leluhur.
Namun, tidak bisa kita pungkiri, era global-lah yang berhasil sedikit demi sedikit melunturkan dan mengaburkan nilai-nilai budaya nenek moyang kita. Hal tersebut dipertegas oleh Bactiar salah seorang tokoh Makassar mengatakan bahwa globalisasi membawa masyarakat kepada pertarungan dan persaingan yang tidak mengenal persahabatan, karena itu tiada jalan lain kecuali membagun pertahanan dari keunggulan yang dimiliki.      
Dalam hal menjaga dan melestarikan budaya TO MALEPON BULAN di era globalisasi dalam mempertahankan nilai-nilai peradaban adalah tingkat kecerdasan generasi muda dan penguasaan teknologi. Karena dalam pembangunan masyarat modern membuktikan bahwa dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi akan sangat membantu kita. Maka kemajuan akan dapat dicapai dengan lebih cepat dan berhasil. Teringat dengan buku setengah abad Prof. Dr. Ing B.J Habibie kesan dan kenangan diusianya yang ke-50 tahun, kala itu B.J Habibie dipanggil dari Jerman atas nama Negara pada masa pemerintahan pak Soeharto untuk kembali mengabdi ke negerinya dan ditugaskan membangun Indonesia melalui pengoptimalan teknologi tinggi. Waktu itu ia masih menjabat sebagai Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada industri pesawat terbang komersial dan militer MBB Hamburg Jerman dalam surat tersebut tertulis kalau kita menghendaki Negara ini kuat, maka kuncinya adalah masyarakatnya harus berpendidikan.
Mungkin dikalangan putra Massenrenpulu sekarang, banyak yang masih beranggapan bahwa kata-kata seperti keluarga to Manurung dan to Malepon Bulan hanyalah sebuah penghargaan untuk para nenek moyang dan lagi-lagi di abad 21 ini yang serba modern sudah tidak memiliki tempat untuk kaum muda bahwa itu hanyalah sebuah mitos, tapi jika kata-kata itu benar adanya tidaklah salah jika kata-kata itu kita jadikan sebagai motivasi untuk lebih mampu bersaing dengan daerah yang sudah mampu membangun tingkat kesejahteraan masyarakatnya
Keterbelakangan itu bukan sebuah takdir atau nasib sial. Keterbelakangan bisa diusir dengan usaha yang gigih karena itu, kendati selama kabupaten Enrekang masih dinilai oleh banyak orang sebagai salah satu distrik terbelakang ekonominya di Sulawesi-Selatan namun keterbelakangan bukanlah sebuah takdir atau nasib sial. Sang pencipta pun berfirman, tidak akan mengubah suatu kaum kalau bukan kita sendiri yang mengubahnya.
Dari hasil pengamatan penulis sementara, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keterbelakangan di kabupaten Enrekang.
A.    Ketidak Mampuan Untuk Mengelola Hasil Bumi
Di kabupaten kita, kita tidak bisa menutup mata bahwa kita memiliki hasil perkebunan yang apabila dikelola dengan baik maka akan sangat berpotensi untuk kesejaterakan masyarakat.
B.     Kurangnya Minat Generasi Muda untuk Menjadi Pengusaha
Sadarkah kita bahwa Kabupaten Enrekang setiap tahunnya melahirkan ratusan sarjana tiap tahunnya, Enrekang kaya akan hasil bumi dan kebanjiran akan sarjana tapi kenapa kita tidak  pernah sadar bahwa kita termasuk salah-satu kabupaten yang masih memiliki tingkat perekonomian terendah di tingkat profensi khususnya Sulawesi-Selatan. Pertanyaan kemudian dimana para para sarjana kita? Jika kita menghitung secara persennya maka 70% kembali ke kampung untuk “mengabdi” 45% memilih untuk menjadi tenaga suka rela diberbagai instansi dan 23% memilih untuk kembali menggarap ladang-ladang mereka dan 2%nya melajutkan usaha orang tua dan yang 30%nya lebih memilih untuk mengabdikan diri mereka  di luar wilayahnya.  
C.     Menelantarkan Tanah Kelahiran
Enrekang adalah tanah kelahiran kita tempat para ibu bapak mengais rezki, dari hamparan tanah yang luas lagi subur mereka bisa mendapatkan hasil untuk keperluan sehari-hari maupun untuk mencukupi biaya sekolah untuk anak-anak mereka agar kelak bisa memperbaiki nasib yang akan datang.
Sekarang tibalah saatnya yang akan datang itu, Enrekang sekarang membutuhkan perubahan, baik itu dari sektor pendidikan, ekonomi dan pemerintahan. Pendidikan, ekonomi, dan pemerintahan yang baik yang dijalankan dengan dedikasih yang tinggi adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisakan dan dijadikan sebagai papan tumpuan untuk menciptakan cita-cita kemerdekaan itu sendiri.
Mimpi itu bukanlah harapan kosong atau kembang tidur. Mimpi itu adalah mimpi yang memiliki visi, yang tentu bukan mimpi kosong yang tidak bisa diwujudkan. 











Tapada Salama. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar